Dalam bersawah (meupadé), juga terdapat sejumlah ketentuan demi keberlangsungan kenyaman dan keamanan bercocok tanam. Hal ini seperti hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya
adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini
dilanggar, dipercaya akan mendatangkan hama wereng (geusong). Demi menghindari sawah sekitar ikut imbas hama wereng, bagi si pelanggar ketentuan itu dikenakan denda oleh keujruen blang.
Ada pula larangan ceumeucah lam ujeuen tunjai, yaitu menebang semak belukar (bukan pohon). Juga hanjeut ceumeucah watèe rôh padé (padi akan berisi). Jika hal ini dilanggar dipercaya akan mendatangkan hama belalang (daruet) yang berakibat gagal panen. Masih saat rôh padé, juga
dilarang membawa daun nipah secara terbuka—diketahui bahwa orang-orang
tua di Aceh suka rokok linting dari daun nipah—atau akan terkena
penyakit putéh padé sehingga padi di sawah tidak berisi.
Tata cara turun ke sawah dalam masyarakat adat Aceh sebaiknya disesuaikan dengan hadih maja keunong
siblah tabue jareueng/ keunong sikureueng tabu beurata/ keunong tujôh
padé lam umong/ keunong limong padé ka dara/ keunong tiga padé ka rhôh,
keunong satoh padé ka tuha ‘kena sebelas tabur yang jarang/ kena
sembilan tabur yang rata/ kena tujuh padi dalam sawah/ kena lima padi
sudah gadis/ kena tiga padi sudah berisi/ kena satu padi sudah tua’.
Cara bertanam atau turun ke sawah berdasrkan konsep keuneunong
ini sudah lama berlangsung di Aceh. Penghitungan keuneunong digunakan
dengan cara menggunakan angka 25 sebagai angka utama, lalu dikurangi
dengan angka bulan Masehi dan dikali dua. Misalnya, bulan ini (Oktober) keuneunong yang cocok adalah 5, yaitu berdasarkan 25 – (10 x 2) sama dengan 25 – 20 dan hasilnya adalah 5 (lima).
Setelah melihat keuneunong yang juga dicocokkan dengan peredaran bintang, dilakukan musyawarah gampông “kapan” turun ke sawah. Duek pakat (musyawarah) ini biasanya dilakukan oleh gampông, mukim, keujruen blang, demi mencocokkan dengan penghitungan yang sudah dilakukan oleh keujruen chik. Setelah kesepakatan dicapai, diumumkanlah kepada warga saat yang tepat turun ke sawah. Demikian arifnya adat meublang di
gampông-gampông dalam wilayah Aceh secara umum. Terkait hasil panen pun
memiliki aturan-aturan tersendiri. Jikapun terjadi sengketa, selalu
diselesaikan secara adat dengan musyawarah-musyawarah gampông. Maka,
keamanan dan ketenteraman dengan gampông tak lagi diragukan. Lantas,
mitos atau kearifankah adat meublang di Aceh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar